May 29, 2010

Prologue - The First Phase

"Maafkan aku, karena telah menyeretmu kedalam kekacauan ini." Suaranya terdengar sedih. "Relic ini akan melindungimu dari mantra itu." katanya sambil mengalungkan kalung kesayangannya. Belum sempat aku berbicara, dia segera memelukku, kemudian menciumku. "Harapan terakhirku adalah bisa bertemu denganmu lagi." Air mata mulai membasahi pipinya. Kemudian ia menyeka air matanya, lalu menyentuh Relic di dadaku. Seketika itu juga muncul Barrier disekitarku. "Nee, apakah kau mencintaiku?" tanyanya sambil tersenyum. Senyum terakhirnya sebelum kehancuran Arcadia. Senyum terakhirnya sebelum fase pertama selesai. Senyum terakhirnya yang tidak akan pernah kulihat lagi. . .



. . .



Aku terbangun ditengah reruntuhan kristal mana Arcadia. Sebagian besar kristal tersebut sudah tidak berpendar lagi, karena digunakan sebagai katalis untuk fase pertama. Kristal di Relic yang diberikannya telah pecah, dugaanku karena telah menahan ledakan sihir yang berasal dari kristal-kristal mana. Luka-lukaku sudah berhenti mengeluarkan darah, namun bisa saja berbahaya jika tidak segera dirawat. Kepalaku terasa berat. Aku mencoba melihat sekitar, tapi tidak kutemukan tanda-tanda kehidupan. Berusaha untuk tetap tenang, aku bersandar di pilar terdekat, sambil mengumpulkan tenaga.



Fase pertama telah terjadi, sesuai ramalan. Dalam satu malam, Arcadia, beserta segala kemegahannya hancur. Tidak ada tanda-tanda kehidupan yang tersisa di Arcadia. Seluruh jiwa penduduknya (termasuk hewan-hewan yang ada) telah digunakan sebagai katalis dalam fase pertama. Despair. Dapatkah kau bayangkan, kota yang ceria ini dalam satu malam menjadi kota mati. .

"Semuanya salahmu, karena kau begitu lemah. . Kematiannya. Kehancuran kota ini. Semuanya salahmu, karena kau begitu lemah. ."



Suaranya terdengar berulang-ulang di telingaku. Suara iblis di hatiku.



. . .



Tertatih-tatih, aku berjalan ke arah Pharmacy terdekat, dengan maksud untuk merawat luka-lukaku. Untungnya, tidak kutemui Lost di dalam perjalananku ke sana. Namun, sesampainya di sana, kudapati pemiliknya tergeletak di tanah. Tubuhnya masih utuh, tanpa luka. Namun jiwanya. sudah hilang. .



Aku mengambil beberapa botol obat dan juga perban untuk merawat lukaku. Selesai merawat luka, aku mencoba melihat ke luar lewat jendela. Dalam pikiranku hanya ada satu hal: Pergi dari Arcadia, sebelum semakin banyak Lost berkumpul. Paling tidak setelah keluar dari kota, hewan-hewan liar di Hutan Fellwood masih lebih mudah dihadapi dibandingkan Lost. Namun, aku melihat sesosok Lost sedang berjalan ke arah Pharmacy Posisinya hanya berjarak beberapa meter dari toko ini. Sialnya, aku meninggalkan pedangku disekitar reruntuhan Kastil Arcadia. Melawan Lost dengan tangan kosong sama saja dengan bunuh diri. Keadaan tidak akan pernah bisa menjadi lebih baik daripada saat ini, pikirku.



Tanpa membuang waktu, aku mencoba mencari senjata di toko ini. Sebilah pedang yang tidak mengandung sihir, sepertinya hanya untuk dekorasi saja. Daripada tidak ada samasekali... Selanjutnya aku menghitung jarak dari Pharmacy ke pintu gerbang kota. Kira-kira duaratus langkah. Bagai jarak terpanjang yang harus kulalui dalam hidupku.



Aku segera keluar dari Pharmacy dan berlari menerjang Lost itu dari belakang. Beruntung barrier-nya lemah sehingga aku berhasil membunuhnya dengan satu serangan. Namun Lost tersebut berteriak dengan kencang sebelum ia mati. Sial, Lost lainnya akan segera menuju ke sini. Tanpa membuang waktu lagi, aku segera berlari ke arah gerbang kota, sambil menahan rasa sakit di seluruh tubuhku. Dalam perjalanan, aku menebas beberapa Lost level rendahan sambil terus berlari. Satu-satunya hal yang kupikirkan adalah bertahan hidup.



Tinggal sedikit lagi. .



"Cih."



Sialnya aku menemukan seekor Lost menjaga gerbang utara kota, berbeda dengan Lost yang dari tadi kumusnahkan, Lost yang ini lebih tinggi dan besar. Lost itu melihatku dan segera berlari sambil melancarkan serangan ke arahku. Serangan yang dilancarkannya begitu lambat, namun aku tidak mampu menghindar karena luka-luka yang kuderita. Serangannya kutangkis dengan pedangku, namun serangannya begitu kuat sehingga aku terhempas menghantam tembok di sebelahku. Beberapa rusukku patah. Sementara diriku sudah berada di ambang batas. . Batas yang bernama "kelelahan". .



Pandanganku mulai kabur. . Dan kesadaranku mulai hilang. . Aku merasakan kematian sudah mulai mendekatiku. .



Apakah aku akan berakhir disini ?